TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Muzaki Maksum, 19 tahun, korban tragedi Kanjuruhan masih tergolek lemah dengan tangan dan pelipis diperban akibat luka.. Remaja yang tinggal di Desa Sumberejo, Kecamatan Sanan Kulon, Kabupaten Blitar, itu masih ingat betul, peristiwa 1 Oktober 2022 itu. Bagaimana, ia dengan enam rekannya semangat berangkat ke Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, untuk menonton tim kebanggaannya Arema FC bertanding melawan Persebaya.
Muzaki selalu menonton tim kebanggaannya Arema FC jika bertanding. Jauhnya jarak antara rumahnya di Kabupaten Bllitar ke Kabupaten Malang, tak menyurutkan semangat untuk melihat langsung dan memberi dukungan penuh pada tim "Singo Edan" itu bertanding.
Sabtu Sore 1 Oktober 2022, ia dengan rekan-rekannya berangkat dari Blitar. Dengan naik motor, hujan pun diterobos hingga sampai ke lokasi stadion. Awal pertandingan hingga selesai, Muzaki mengakui sangat menikmati. Kendati agak kecewa karena tim kebanggaannya kalah, ia hanya bisa memberikan dukungan agar timnya bangkit lagi.
Suasana mencekam justru datang setelah pertandingan, setelah gas air mata menghujani area Stadion Kanjuruhan. Mata perih dan bingung mencari jalan keluar, membuat ia dengan rekan-rekan lainnya ikut berbondong-bondong mencari pintu keluar, hingga menumpuk di pintu 12 di stadion itu.
Apesnya, saat kejadian ia sempat terjatuh dan tertindih orang-orang di atasnya. Untungnya, ia bisa terhindar dari maut dengan meminta pertolongan polisi yang ada di dekatnya. Pelipisnya berdarah dan tangan kanannya memar. Dokter menyebutnya dislokasi.
Sudah agak reda, malam berganti dini hari, keluarganya yang ada di Blitar akhirnya diberi kabar. Hingga kemudian, kedua orang tuanya menyusul ke Malang.
Tak Direstui Ibunya
Rina Wahyuni, ibunda Muzaki, hanya terdiam ketika anaknya pamitan hendak menonton laga Arema FC dengan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan. Diamnya Rina karena khawatir kondisi hujan deras di Blitar. Namun Muzaki tetap nekat berangkat ke Malang.
Hingga ada berita tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, membuat ia semakin tidak tenang. Anak kesayangannya itu tak segera pulang, bahkan hampir tengah malam.
Hingga Minggu (2/10) dini hari, dirinya mendapatkan telepon kondisi anaknya. Dikabarkan anaknya dirawat di rumah sakit karena menjadi korban tragedi itu.
Suasana hati berkecamuk, sehingga ia pun memutuskan dengan suami, Yudi Santoso, berangkat ke Malang, menjemput anaknya. Jam 3 dini hari, dengan naik mobil ia dan suami menerobos dinginnya cuaca melewati jalur menuju Malang.
Hingga sampai di rumah sakit, ia dan suami langsung mencari sang buah hati. Setelah memastikan kondisi anaknya, mempertimbangkan kondisi mental anaknya, ia dan suami memutuskan membawanya pulang ke Blitar.
Pertimbangan dibawa pulang itu diambil karena kondisi pasien berjubel di rumah sakit. Kenyataan itu membuat ia tidak tega jika anaknya tetap dirawat di rumah sakit di Malang.
Dibawa pulang adalah pilihan terbaik hingga kemudian dibawa ke rumah sakit di Kabupaten Blitar.
Insiden 1 Oktober 2022 ini menjadi pengalaman berharga bagi Rina Wahyuni sebagai orang tua. Kondisi anak pertamanya itu hingga kini belum pulih. Selain medis, upaya nonmedis juga dilakukan demi kesembuhan sang anak.
Selanjutnya: Bercita-cita jadi polisi...